Thursday 5 November 2015

Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah wewenang manusia yang bersifat dasar sebagai manusia untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu yang baik yang bersifat materi maupun immateri. Secara historis, pandangan terhadap kemanusiaan di Barat.Bermula dari para pemikir Yunani kuno yang menggagas humanisme. Pandangan humanism kemudian dipertegas kembali pada zaman Renaissance. Dari situ kemudian muncul berbagai kesepakatan nasional maupun internasional mengenai penghormatan hak-hak asasi manusia. Puncaknya adalah ketika Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Declaration of Human Right, disusul oleh ketentuan-ketentuan lain untuk melengkapi naskah tersebut. Secara garis besar, hak asasi manusia berisi hak-hak dasar manusia untuk dilindungi, yang meliputi hak hidup, hak kebebasan, hak persamaan, hak mendapatkan keadilan, dll.
Dalam masalah ini telah dipaparkan tentang HAM yaitu pada pembukaan UUD1945: “kebebasan adalah segala bangsa…..”. Secara tidak langsung pembukaan itu telah membentuk suatu keyakinan bahwa manusia mempunyai hak-hak asasi yang harus dilindungi.
Hubungan antara pembukaan UUD dengan HAM sangatlah erat, karena dalam pembukaan UUD telah memperincikan secara khusus kemerdekaan segala bangsa dan tujuan Negara kita. Perlakuan pemerintah tentang hak-hak asasi manusia haruslah selalu dipentingkan, karena pada saat pembentukan pembukaan UUD 1945 telah mencantumkan tentang hak-hak asasi, sehingga dalam hal ini manusia dapat merasakan hak-hak mereka dengan layak. Hak asasi merupakan hal yang sangat

HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia sebagai insan ciptaan Allah SWT, sepeti : hak hidup, keselamatan, kebebasan dan kesamaaan sifatnya tidak boleh dilangar oleh siapapun. Ada lagi yang berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
1.    Sejarah Perkembangan HAM
Puncak perkembangan hak-hak asasi manusia yaitu ketika ‘Human Right’ itu untuk pertama kalinya dirumuskan secara resmi dalam ‘Declaration of Independence’ Amerika Serikat pada tahun 1776. Dalam deklarasi Amerika Serikat tertanggal 4 Juli 1776 tersebut dinyatakan bahwa seluruh umat manusia dikarunia oleh Tuhan Yang Maha Esa beberapa hak yang tetap dan melekat padanya. Perumusan hak-hak asasi manusia secara resmi kemudian menjadi dasar pokok konstitusi Negara Amerika Serikat tahun 1787, yang mulai berlaku 4 maret 1789.
Perjuangan hak asasi manusia tersebut sebenarnya telah diawali di Prancis sejak Rousseau, dan perjuangan itu memuncak dalam revolusi Prancis ,  yang berhasil menetapkan hak-hak asasi manusi dalam ‘Declaration des Droits L ‘Homme et du Citoyen’ yang ditetapkan oleh Assemblee Nationale, pada 26 Agusts 1789. Semboyan revolusi Prancis yang terkenal yaitu:
a.       Librte (kemerdekaan),
b.      Egalita (kesamarataan)
c.       Fraternite (kerukunan atau persaudaraan)
Maka menurut konstitusi Prancis yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia adalah: hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dengan hakikatnya.
Doktrin tentang hak-hak asasi manusia sekarang ini suda diterima secara universal sebagai bentuk ‘a moral, political, legal framework and as a guideline’ dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Terhadap deklarasi sedunia tentang hak-hak asasi manusia PBB tersebut, bangsa-bangsa sedunia melalui wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal walaupun realisasinya juga disesuaikan dengan kondisi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam setiap Negara didunia ini.
Namun demikian dikukuhkanya naskah Universal Declaration of Human Right ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan diberbagai Negara. Oleh karena itu PBB secara terus-enerus berupaya untuk memperjuangkannya. Akhirnya setelah kurang lebih 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Convenant on Economik, Social and cultural (perjanjian tentang, ekonomi, sosial dan budaya) dan Convenant on civil and Political Right (Perjajian tentang hak-hak sipil dan politik).
3.         Masalah Hak-hak Asasi
Dalam persimpangan jalan pertumbuhan dan perkembangan bangsa kita yang amat penting sekarang ini, prinsip-prinsip kebebasan nurani dalam semangat kemanusiaan universal tersebut sungguh harus mulai menjadi acuan serius bagi seluruh lapisan masarakat.
Biasanya manusia itu membandingkan satu orang dengan orang lainnya karena factor sosial. Yang dimaksud dengan factor sosial disini adalah tingkatan kedudukan seseorang, atau tingkat materinya. Sehingga mereka sangat sulit untuk menyatukan hak-hak asasi demi perubahan bangsa dan Negara kita ini. Masalah mengenai hak-hak asasi yang ada di Indonesia ini biasanya dipicu oleh masalah agama yang begitu banyak, sehingga terjadinya pluralitas di daerah-daerah tertentu. oleh karena itu saat ini manusia sangat sulit untuk mengeluarkan suara atau hak demokrasi mereka. Hal tersebut berpengaruh pada sulitnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk menjadi yang terbaik, yang sebenarnya didalam pancasila telah di paparkan yaitu pada sila ke 3 “Persatuan Indonesia”, yang berarti persatuan bangsa yang mendiami wilayah bangsa yang didorong untuk mencapai kehidupan bangsa yang bebas dalam Negara yang merdeka, berdaulat dan menghargai bangsa lain.
Dalam rentangan berdirinya bangsa dan Negara Indonesia telah mengangkat hak-hak asasi manusia yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia I: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”.  Secara dasar filosofisnya hak asasi manusia bukanlah kebebasan individualis melainkan menempatkan manusia dalam hubungannya dengan bangsa (makhluk sosial), menciptakan keadialan dalam setiap negara, sehingga hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia.
Tiga pendekatan terhadap hak-hak manusia seperti : otoritarianisme (formalisme), relativisme dan etika situas, kesemuanaya memberi petunjuk bahwa “masyarakat bebas” sampai saat ini tetap mencari nilai baku yang dapat diterima oleh semua pihak, dan salah satunya menunjukkan kepada kita bahwa paham universal yang dapat kita sepakati saat ini adalah etika situasi, sebagai jalan tengah darik dua pendekatan pertama. Dalam sejarah ternyata formalism (filsafat Kant) dituding bertanggung jawab terhadap kekacauan yang terjadi pada Perang Dunia I dan II begitu pula teori relativisme dalam sejarahnya tidak dapat memuaskan Negara-negara berkembang dan dunia ketiga menghantarkan kepada paham universal yang disepakati oleh banyak bangsa didunia, berlaku secara global dan mendekati kebenaran bersama pada zamannya.
    E .     Demokrasi dan HAM
Demokrasi berperan untuk menjadi metode yang implementatif bagi pelaksanaan HAM. Karena itu demokrasi tersebut harus bersifat kultural, sebagaimana muatannya, sebab tanpa inspirasi agama maupun tradisi, demokrasi akan gagal oleh formalismenya sendiri. Karena itu ketika HAM harus diwujudkan melalui perjuangan demokrasi, agama menjadi varian yang tidak bisa dihindari sebagai fakta yang fundamental, sekaligus bersifat suplementer bagi proses demokratisasi, khususnya di Negara kita, yang konon sangat religius.
Persoalannya, sejauh mana agama tidak terinstitusi dalam formalisme demokrasi, dan sebaliknya demokrasi tidak menuntut liberalitasnya atas wilayah-wilayah agama. Disini perlu penyelesaian ketegangan agama dan demokrasi disatu pihak, dan pemberian wilayah HAM yang srategis agar agama menjadi inspirasi bagi budaya demokrasi sementara HAM menjadi ruang public untuk memberi kepaastian hukum dan lembaga peradilan nanti.
Netralisasi lembaga peradilan dari tekanan-tekanan kekuasaan maupun intervensi eksternal, selain tidak akan memberikan kepastian hukum bagi penegak HAM, juga melahirkan bentuk-bentuk aktivitas yang anarkis terhadap hukum itu sendiri. Demokrasi juga bisa melahirkan anarkhisme, apabila demokrasi mengabaikan institusi public yang menjadi saluran-salurannya, termasuk penghormatan terhadap nilai-nilai moral agam yang berhubungan dengan kemanusiaan.
Kita tidak menginginkan terjadinya dehumanisasi, karena selain melanggar nilai-nilai HAM dan demokrasi, dehumanisasi adalah fakta negative dalam sikap manusia paling primitive. Akan lebih menyakitkan lagi manakala dehumanisasi itu atas nama agama, kemanusiaan, bahkan atas nama suatu pemahaman demokrasi.
Disinilah perlunya mengangkat kembali sejumlah volume universal agama, volume humanisme, dan volume penyelenggaraan Negara. Volume keagamaan, akan menjadi dasar piramida yang bersifat inspiratif, sementara nilai-nilai kemanusiaan menjadi ruang public yang mempertemukan volume kultural dari pengalaman moral beragama dengan kekuatan-kekuatan structural Negara, yang menjamin pelaksanaan hukum secara adil. Karenanya, harus mencerminkan hak-hak public, agar demokrasi tidak terkooptasi oleh kekuasaan..
 Sumber : Makalah Hak Asasi Manusia [ Data Kuliah ]
Previous Post
Next Post
Related Posts

0 Komentar: