Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
wewenang manusia yang bersifat dasar sebagai manusia untuk mengerjakan, meninggalkan,
memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu yang baik yang bersifat materi
maupun immateri. Secara historis, pandangan terhadap kemanusiaan di
Barat.Bermula dari para pemikir Yunani kuno yang menggagas humanisme. Pandangan
humanism kemudian dipertegas kembali pada zaman Renaissance. Dari situ kemudian
muncul berbagai kesepakatan nasional maupun internasional mengenai penghormatan
hak-hak asasi manusia. Puncaknya adalah ketika Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
Declaration of Human Right, disusul oleh ketentuan-ketentuan lain untuk
melengkapi naskah tersebut. Secara garis besar, hak asasi manusia berisi
hak-hak dasar manusia untuk dilindungi, yang meliputi hak hidup, hak kebebasan,
hak persamaan, hak mendapatkan keadilan, dll.
Dalam masalah ini telah dipaparkan
tentang HAM yaitu pada pembukaan UUD1945: “kebebasan adalah segala bangsa…..”.
Secara tidak langsung pembukaan itu telah membentuk suatu keyakinan bahwa
manusia mempunyai hak-hak asasi yang harus dilindungi.
Hubungan antara pembukaan UUD dengan
HAM sangatlah erat, karena dalam pembukaan UUD telah memperincikan secara
khusus kemerdekaan segala bangsa dan tujuan Negara kita. Perlakuan pemerintah
tentang hak-hak asasi manusia haruslah selalu dipentingkan, karena pada saat
pembentukan pembukaan UUD 1945 telah mencantumkan tentang hak-hak asasi,
sehingga dalam hal ini manusia dapat merasakan hak-hak mereka dengan layak. Hak
asasi merupakan hal yang sangat
HAM adalah hak yang melekat pada
diri manusia sebagai insan ciptaan Allah SWT, sepeti : hak hidup, keselamatan,
kebebasan dan kesamaaan sifatnya tidak boleh dilangar oleh siapapun. Ada lagi
yang berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
1. Sejarah Perkembangan HAM
Puncak perkembangan hak-hak asasi
manusia yaitu ketika ‘Human Right’ itu untuk pertama kalinya
dirumuskan secara resmi dalam ‘Declaration of Independence’ Amerika
Serikat pada tahun 1776. Dalam deklarasi Amerika Serikat tertanggal 4 Juli 1776
tersebut dinyatakan bahwa seluruh umat manusia dikarunia oleh Tuhan Yang Maha
Esa beberapa hak yang tetap dan melekat padanya. Perumusan hak-hak asasi
manusia secara resmi kemudian menjadi dasar pokok konstitusi Negara Amerika
Serikat tahun 1787, yang mulai berlaku 4 maret 1789.
Perjuangan hak asasi manusia
tersebut sebenarnya telah diawali di Prancis sejak Rousseau, dan perjuangan itu
memuncak dalam revolusi Prancis , yang berhasil menetapkan hak-hak asasi
manusi dalam ‘Declaration des Droits L ‘Homme et du Citoyen’ yang
ditetapkan oleh Assemblee Nationale, pada 26 Agusts 1789. Semboyan
revolusi Prancis yang terkenal yaitu:
a. Librte (kemerdekaan),
b. Egalita (kesamarataan)
c. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan)
Maka
menurut konstitusi Prancis yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia adalah:
hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan
dengan hakikatnya.
Doktrin tentang hak-hak asasi manusia sekarang ini suda
diterima secara universal sebagai bentuk ‘a moral, political, legal framework
and as a guideline’ dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari
ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Terhadap deklarasi
sedunia tentang hak-hak asasi manusia PBB tersebut, bangsa-bangsa sedunia
melalui wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis
formal walaupun realisasinya juga disesuaikan dengan kondisi serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam setiap Negara didunia ini.
Namun demikian dikukuhkanya naskah Universal Declaration
of Human Right ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar
penindasan diberbagai Negara. Oleh karena
itu PBB secara terus-enerus berupaya untuk memperjuangkannya. Akhirnya setelah
kurang lebih 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Convenant on
Economik, Social and cultural (perjanjian tentang, ekonomi, sosial dan
budaya) dan Convenant on civil and Political Right (Perjajian tentang
hak-hak sipil dan politik).
3. Masalah Hak-hak Asasi
Dalam persimpangan jalan pertumbuhan
dan perkembangan bangsa kita yang amat penting sekarang ini, prinsip-prinsip
kebebasan nurani dalam semangat kemanusiaan universal tersebut sungguh harus
mulai menjadi acuan serius bagi seluruh lapisan masarakat.
Biasanya manusia itu membandingkan
satu orang dengan orang lainnya karena factor sosial. Yang dimaksud dengan
factor sosial disini adalah tingkatan kedudukan seseorang, atau tingkat
materinya. Sehingga mereka sangat sulit untuk menyatukan hak-hak asasi demi
perubahan bangsa dan Negara kita ini. Masalah mengenai hak-hak asasi yang ada
di Indonesia ini biasanya dipicu oleh masalah agama yang begitu banyak,
sehingga terjadinya pluralitas di daerah-daerah tertentu. oleh karena itu saat
ini manusia sangat sulit untuk mengeluarkan suara atau hak demokrasi mereka.
Hal tersebut berpengaruh pada sulitnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
untuk menjadi yang terbaik, yang sebenarnya didalam pancasila telah di paparkan
yaitu pada sila ke 3 “Persatuan Indonesia”, yang berarti persatuan bangsa yang
mendiami wilayah bangsa yang didorong untuk mencapai kehidupan bangsa yang
bebas dalam Negara yang merdeka, berdaulat dan menghargai bangsa lain.
Dalam rentangan berdirinya bangsa
dan Negara Indonesia telah mengangkat hak-hak asasi manusia yang dicantumkan
dalam Pembukaan UUD 1945 alenia I: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Secara
dasar filosofisnya hak asasi manusia bukanlah kebebasan individualis melainkan
menempatkan manusia dalam hubungannya dengan bangsa (makhluk sosial),
menciptakan keadialan dalam setiap negara, sehingga hak asasi manusia tidak
dapat dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia.
Tiga pendekatan terhadap hak-hak
manusia seperti : otoritarianisme (formalisme), relativisme dan etika situas,
kesemuanaya memberi petunjuk bahwa “masyarakat bebas” sampai saat ini tetap
mencari nilai baku yang dapat diterima oleh semua pihak, dan salah satunya
menunjukkan kepada kita bahwa paham universal yang dapat kita sepakati saat ini
adalah etika situasi, sebagai jalan tengah darik dua pendekatan pertama.
Dalam sejarah ternyata formalism (filsafat Kant) dituding bertanggung jawab
terhadap kekacauan yang terjadi pada Perang Dunia I dan II begitu pula teori
relativisme dalam sejarahnya tidak dapat memuaskan Negara-negara berkembang dan
dunia ketiga menghantarkan kepada paham universal yang disepakati oleh banyak
bangsa didunia, berlaku secara global dan mendekati kebenaran bersama pada
zamannya.
E . Demokrasi dan HAM
Demokrasi berperan untuk menjadi metode yang implementatif
bagi pelaksanaan HAM. Karena itu demokrasi tersebut harus bersifat kultural,
sebagaimana muatannya, sebab tanpa inspirasi agama maupun tradisi, demokrasi
akan gagal oleh formalismenya sendiri. Karena itu ketika HAM harus diwujudkan
melalui perjuangan demokrasi, agama menjadi varian yang tidak bisa dihindari
sebagai fakta yang fundamental, sekaligus bersifat suplementer bagi proses
demokratisasi, khususnya di Negara kita, yang konon sangat religius.
Persoalannya, sejauh mana agama tidak terinstitusi dalam
formalisme demokrasi, dan sebaliknya demokrasi tidak menuntut liberalitasnya
atas wilayah-wilayah agama. Disini perlu penyelesaian ketegangan agama dan
demokrasi disatu pihak, dan pemberian wilayah HAM yang srategis agar agama
menjadi inspirasi bagi budaya demokrasi sementara HAM menjadi ruang public
untuk memberi kepaastian hukum dan lembaga peradilan nanti.
Netralisasi lembaga peradilan dari tekanan-tekanan kekuasaan
maupun intervensi eksternal, selain tidak akan memberikan kepastian hukum bagi
penegak HAM, juga melahirkan bentuk-bentuk aktivitas yang anarkis terhadap
hukum itu sendiri. Demokrasi juga bisa melahirkan anarkhisme, apabila demokrasi
mengabaikan institusi public yang menjadi saluran-salurannya, termasuk
penghormatan terhadap nilai-nilai moral agam yang berhubungan dengan
kemanusiaan.
Kita tidak menginginkan terjadinya dehumanisasi, karena
selain melanggar nilai-nilai HAM dan demokrasi, dehumanisasi adalah fakta
negative dalam sikap manusia paling primitive. Akan lebih menyakitkan lagi
manakala dehumanisasi itu atas nama agama, kemanusiaan, bahkan atas nama suatu
pemahaman demokrasi.
Disinilah perlunya mengangkat kembali sejumlah volume
universal agama, volume humanisme, dan volume penyelenggaraan Negara. Volume
keagamaan, akan menjadi dasar piramida
yang bersifat inspiratif, sementara nilai-nilai kemanusiaan menjadi ruang
public yang mempertemukan volume kultural dari pengalaman moral beragama dengan
kekuatan-kekuatan structural Negara, yang menjamin pelaksanaan hukum secara
adil. Karenanya, harus mencerminkan hak-hak public, agar demokrasi tidak
terkooptasi oleh kekuasaan..
Sumber : Makalah Hak Asasi Manusia [ Data Kuliah ]
0 Komentar: